Katekhismus Heidelberg ini kemudian juga diterima oleh gereja-gereja Calvinis di Negeri Belanda, bersama dokumen-dokumen lain[1]) hasil perumusan gereja-gereja di Negeri Belanda, berdasarkan pergumulan-pergumulan yang mereka alami pada Abad ke-17 itu. Agenda pemikiran gereja, dalam hal ini gereja Calvinis Belanda adalah konsolidasi gereja menurut faham Calvinisme, dalam konteks reformasi gereja yaitu berhadapan dengan faham Roma Katolik. Konteks makronya adalah Eropa Barat, yang hampir seluruhnya menganut agama Kristen, sementara faktor agama-agama lain belum diperhatikan karena belum menjadi masalah yang konkret bagi mereka. Konteks global masih sangat terbatas, karena komunikasi belum berkembang. Masyarakatnya baru mengenal kereta kuda dan kapal layar, belum ada mobil, pesawat terbang dan radio. Ilmu Pengetahuan dan Filsafat sedang bertumbuh pada taraf awal sejarah modern, yang didominasi oleh tahap pemikiran mitis maupun ontologis yang muncul kemudian.
     
GKJ lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial, penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. Di zaman modern pasca kolonialisme ini, yaitu zaman kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah setelah Perang Dunia II, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar. Indonesia kini bukan lagi bangsa terjajah, tetapi berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain, yang menghargai persamaan dan keadilan.

      GKJ hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk menurut anutan agama dan aliran kepercayaan,
    yaitu agama Islam, Kristen (Protestan/ Katholik) dengan berbagai denominasi dan aliran di mana GKJ ber-
     ada di dalamnya, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu, serta berbagai kepercayaan dan aliran-aliran lainnya.

Di samping itu, GKJ yang mempunyai nuansa etnis dan kultural, juga merupakan bagian dari kemajemukan suku-suku bangsa dan bahasa di Indonesia. Menurut para ahli ada lebih dari 400 bahasa lisan yang dipergunakan di seluruh Indonesia, berikut keanekaragaman adat dan budayanya. GKJ berada dalam suatu masyarakat yang bersifat “Bhinneka Tunggal Ika” yang harus mengembangkan suatu cara hidup bersama tersendiri di tengah masyarakatnya.

GKJ hidup dalam zaman perkembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan munculnya teknologi yang menyebabkan revolusi komunikasi.  Pesawat-pesawat terbang besar tanpa henti menyediakan transportasi antar benua yang amat cepat; kapal-kapal angkut raksasa memindahkan ratusan ribu ton muatan ke segala pelosok dunia. Radio-satelit memungkinkan orang berbicara antar benua, seperti dengan tetangga sebelah rumah. Program-program televisi menyeruak menembus dinding-dinding kamar tidur. Teknik pendidikan yang memanfaatkan sarana audio-visual dan komputer memungkinkan murid-murid semakin cerdas dan trampil. Globalisasi menerpa kehidupan di seluruh dunia. Dunia seakan-akan berubah menjadi satu desa yang besar, tanpa dapat dibendung.

Dengan demikian dapat difahami timbulnya keinginan GKJ untuk mengkaji kembali warisan ajarannya, yang berasal dari tempat dan waktu yang demikian jauh berbeda. GKJ kini menghadapi dunia yang lain sama sekali dari dunia Jerman dan Belanda pada Abad ke-17, tatkala warisan ajarannya dirumuskan. Oleh sebab itu GKJ berusaha untuk bertindak sebagai umat Allah yang bertanggung jawab untuk berfungsi dalam karya penyelamatan Allah, yaitu bersaksi dalam konteksnya.

3.   Proses penyusunan  PPA GKJ

Sejak timbul keinginan GKJ untuk menyusun ajarannya sendiri[2]) seperti yang terekam dalam Akta Sinode XVI GKJ 1981 artikel 47[3]), ada suatu prakarsa yang muncul di lingkungan Klasis Salatiga. Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. mempersiapkan  naskah awal yang diterima oleh Klasis Salatiga, yang kemudian diusulkan sebagai naskah awal PPA GKJ.[4])  Sidang Sinode Kontrakta 1992 membentuk Tim Pokok-pokok Ajaran GKJ, dengan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th. sebagai konvokator; Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. sebagai anggota, dibantu oleh 9 anggota yang lain, yaitu: Pdt. Widjojo Hadipranoto, BD., Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, Th.M., Pdt. Djaka Soetapa, D.Th., Pdt. Sularso Sopater, D.Th., Dr. J. Sardi, Sunarso, M.Sc., Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th., Pdt. Humphrey Sudarmadi K., S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Hadi Purnomo, SH.

Hasil pekerjaan Tim PPA GKJ dilaporkan kepada Sidang Sinode XXI, dan memperoleh pembahasan intensif. Sidang ini kemudian membentuk Tim baru, untuk melanjutkan pekerjaan Tim lama, sambil menampung usul-usul yang masuk dalam sidang sinode tersebut. Tim ini diketuai oleh Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th, sekretaris: Pdt. Drs. Sukardi Citro Dahono, anggota: Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo, S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th.  Di samping itu dibentuk Tim Pembaca terdiri dari 4 orang, yaitu: Pdt. Dr. Sularso Sopater, Pdt. Iman Sugiri, S.Th., Pdt. Bambang Mulyatno, S.Th., M.Si., Pdt. David Rubingan, M.Th. dan seluruh Klasis di lingkungan Sinode GKJ.[5])


[1])  y.i. Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica) susunan Guido de Bres (1561) dan Keputusan-keputusan Sinode Dordrecht 1618 (Lima Pasal Melawan Remonstran), ketiga dokumen itu sering disebut: Tiga Pasal Keesaan, Band. Dr. H. Berkhof & Dr. I.H.Enklaar, Sedjarah Geredja, Djakarta: Badan Penerbit Kristen, h.191.
[2]) Dapat ditelusuri mulai dari Akta Sinode 1969, 1971, 1975, 1976, 1978, 1981.
[3]) Akta Sinode XVI GKJ, 1981, Art. 47, ayat 2: “Menugaskan Dr. Harun Hadiwijono untuk menyusun buku katekisasi baru yang isinya juga memperhatikan konteks Indonesia/Jawa pada masa kini.”
[4])  Kita diingatkan kepada peran Zakharias Ursinus dan Caspar Olevianus dalam penyusunan Katechismus Heidelberg dan Guido de Bres dalam penyusunan  Confessio Belgica.
[5]) Band. PPA GKJ, h. 3,4.