Edisi 2005 - URAIAN

POKOK-POKOK AJARAN
GEREJA KRISTEN JAWA



        
PENDAHULUAN

 

Untuk membantu memahami dengan baik buku Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ), perlu terlebih dahulu disampaikan  beberapa hal sebagai berikut:

 1.   Status PPA GKJ sebagai dokumen gerejawi

 Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (selanjutnya disingkat: PPA GKJ) disahkan dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996.[1]) Dengan demikian dokumen ini memperoleh status resmi gerejawi, yang memuat isi kepercayaan gereja dan pedoman hidup bagi warga gereja. Dokumen ini dinyatakan berlaku sejak disahkan dan baru akan berubah status apabila dikehendaki oleh gereja-gereja, melalui suatu keputusan Sidang Sinode GKJ di waktu yang akan datang.


2.   Latar belakang penyusunan PPA GKJ

Sejak kelahiran GKJ sebagai suatu sinode gereja pada tanggal 17 Februari 1931 GKJ memberlakukan kitab Piwulang Agami Kristen[2]), yang berlaku sebagai buku pedoman kepercayaan dan pedoman hidup di lingkungan GKJ sampai tahun 1996. Setelah mempergunakan dokumen warisan selama 65 tahun, GKJ merasa perlu untuk menggantikan dokumen warisan itu dengan suatu dokumen yang dihasilkannya sendiri sebagai wujud kemandirian sembari menjawab kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sangat mendesak.

Langkah penting ini seperti disebut dalam Pengantar PPA GKJ edisi 1997 diuraikan sebagai berikut. Sejak 1984, dalam Sidang Sinode XVII terungkap bahwa GKJ menghendaki untuk menyusun ajarannya sendiri. Adapun sebab-sebab yang diketengahkan adalah: Pertama, sebagai gereja yang mandiri GKJ perlu menentukan sendiri ajarannya. Kedua, sesuai dengan sifat dan status mandiri atau kedewasaannya, warisan yang diterima itu harus dikaji kembali dengan sikap kritis. Ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu berdasarkan Alkitab. Kalau ternyata ada penafsiran yang tidak sesuai dengan penafsiran yang bertanggungjawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah. Sementara yang sesuai tetap dipertahankan. Keempat, karena tantangan yang dihadapinya adalah konkret, maka ajaran yang dirumuskan harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam menjawabnya.[3])

Alasan-alasan tersebut di atas dapat difahami oleh karena Katekhismus Heidelberg itu telah disusun dalam waktu yang berbeda tiga setengah abad, di negeri yang berbeda dan untuk memenuhi kebutuhan serta menjawab tantangan yang berbeda pula. Seperti tercatat dalam sejarah gereja, Katekhismus Heidelberg disusun oleh dua orang teolog dari Heidelberg, yaitu Zakharias Ursinus dan Caspar Olevianus, pada tahun 1562, berdasarkan pola pemikiran Yohanes Calvin, reformator gereja dari Geneva, Negeri Swis. Pada tahun 1563, atas kehendak raja wilayah Friedrich III, diterima sebagai pedoman ajaran gereja di negara bagian Pfalz, Jerman bagian Barat.
     



[1])   Diterbitkan sebagai buku, Cetakan I tahun 1997, Cetakan II tahun 1998.
[2])  Terjemahan bahasa Jawa dari Katekhismus Heidelberg tahun 1563, yang melalui gereja induk di Nederland (=Gereformeerde Kerken in Nederland) diterima sebagai warisan pokok-pokok kepercayaan Kristen.
[3])   Band. PPA GKJ, 1998, hal.3.