bagaimana dalam kaitan dengan segala sesuatu; ia tidak bertanya mengenai adanya barang-barang itu, tetapi  bertanya mengenai artinya bagi dia, yaitu cara sesuatu itu dialami dan diintegrasikan dalam hidupnya. Manusia ingin mengubah dunia, kehidupan sosial ditandai oleh unsur arti dan pengelolaan. Ia menyukai sistem yang terbuka, segala sesuatu dilihat bukan sebagai sesuatu yang bulat dan tertutup (=ontologis), tetapi sebagai yang selalu bergerak, sebagai proses.[1])

Bagan tiga tahap atau ketiga sikap dasar seperti diuraikan di atas sebenarnya hanya merupakan suatu skema, atau sebuah sarana untuk membantu kita. Kalau disebut tahap tidak lalu diartikan tahap secara harafiah, yaitu perkembangan bertingkat di mana tahap yang satu digantikan oleh tahap berikutnya. Pada kenyataannya kita tidak boleh lupa bahwa semua tahap perkembangan cara berfikir manusia itu terdapat dalam kita semua, bahkan dalam kita masing-masing. Yang dipentingkan dalam bagan ini ialah aksen-aksen yang bergeser, strategi-strategi yang berbeda-beda dari masing-masing tahap.[2]) Apa yang disebut sebagai manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya, maklum juga mengenai hal-hal yang praktis-teknis, dia pun dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya kita dalam masyarakat modern tidak lepas dari unsur-unsur magis. Kita pun dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos pengarang-pengarang besar yang serba mendalam atau oleh ideologi-ideologi politis. Sekalipun ada kemajuan-kemajuan teknis, medis dan ilmiah, tetapi sejarah kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak (linier).[3])

8.   Penutup

Seperti telah disinggung di atas, PPA GKJ 1996 telah dipersiapkan dan disusun untuk memenuhi kebutuhan GKJ yang hidup di zaman modern, sehingga lebih memberikan tekanan pada pendekatan fungsional.  Ketritunggalan Allah oleh sebagian besar warga GKJ tetap dirasakan perlu untuk disebut. Di dalam PPA GKJ 1996 hal tersebut  disajikan bukan dalam bentuk ulangan rumusan-rumusan klasik dari Konsili-konsili Nicea-Konstantinopel (Abad ke-4 M.). Kristus tidak lagi diuraikan mengikuti  rumusan Konsili Chalcedon (Abad ke-5 M.) yang sesuai dengan perkembangan pemikiran pada zaman itu yang bersifat ontologis[4]), tetapi diuraikan secara baru sesuai dengan pendekatan fungsional. Dengan cara demikian, dialog dengan masyarakat luas, yang sebelumnya sulit memahaminya, diharapkan dapat lebih mudah dilakukan. Sebab Ketritunggalan Allah itu lebih dikaitkan pada Allah yang berkarya bagi keselamatan manusia.  [Lihat PPA GKJ  1996 Pertanyaan-Jawaban (P-J) 52; buku ini: hal. 24].

Gereja juga diuraikan secara fungsional, dengan diawali oleh suatu uraian dengan memperhatikan fenomenologi Agama, lalu diteruskan dengan uraian lanjutan yang memperhatikan hubungan dengan masyarakat keagamaan Indonesia yang bersifat majemuk (Lih. P-J 81 dst., 242 dst.; buku ini: hal. 31 dst., hal. 62 dst.). Selanjutnya  PPA GKJ mendedikasikan Minggu ke-9 untuk membahas Fungsi Gereja (buku ini: Tugas Panggilan Gereja, hal. 32).

Perhatian terhadap relasi/hubungan antara kehidupan orang percaya dengan dunia, alam, negara, ilmu pengetahuan dan teknik diberi tempat secara panjang lebar dalam PPA GKJ. P-J 152 (buku ini: hal. 17, 22) menjelaskan bahwa penyelamatan Allah berlangsung dalam anyaman bersama dengan kehidupan manusia di dunia. P-J 175 dst. (buku ini: hal. 47 dst.) menjelaskan mengenai menyikapi masalah hubungan manusia dengan alam dan tugas manusia sebagai mandataris Allah terhadap alam yang harus dilakukan dengan bertanggungjawab. P-J 191 (buku ini: hal. 53) membicarakan mengenai bagaimana orang percaya memfungsikan akal budinya dalam mengolah ilmu pengatahuan, teknologi dan teknik. P-J 194 (buku ini: hal. 53) membahas bagaimana fungsi iman itu dibutuhkan agar manusia bermartabat manusia. P-J 216 (buku ini: hal. 57) membicarakan mengenai fungsi dasar kekuasaan negara. P-J 225-227 (buku ini: hal. 58) membahas mengenai martabat manusia dan Hak-hak Asasi Manusia. Contoh-contoh di atas menjelaskan tentang bagaimana pendekatan fungsional sangat mengemuka dalam PPA GKJ ini.

Namun, seperti juga telah diuraikan di atas, tidak semua warga GKJ dapat mengikuti alur fikiran tahap fungsional dengan serta merta. Ada yang belum mampu mengubah paradigma berfikir sehingga masih ingin mempertahankan yang lama. Menjadi penting bagi semua warga GKJ untuk memberi tempat kepada perbedaan-perbedaan cara memahami kebenaran, tanpa mengorbankan inti iman Kristen, sementara tetap memelihara ikatan cinta kasih, sebagai warga keluarga Allah dalam Kristus.


Rujukan:

1.          Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode GKJ, 1998
2.          Dr.H.Berkhof – Dr. I.H.Enklaar, Sedjarah Geredja, Djakarta: BPK, 1956
3.          E.A.Livingstone (Ed), The Concise Oxford Dictionary of the Christian Church, Oxford: Oxford University Press, 1977.
4.        Prof. Dr. C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976.


[1])   Ibid., 18, 87, 91,92.
[2])   Ibid., 23.
[3])   Ibid., 23.
Dapat dicatat bahwa akhir-akhir ini sebagai reaksi terhadap filsafat modern muncul aliran filsafat yang di disebut filsafat post-modern (=pasca modern). Aliran ini bersikap kritis terhadap netralitas dan kedaulatan akal budi. Ia menolak asumsi adanya “kata-kata terakhir yang menentukan”, yaitu menolak rumusan prinsip-prinsip, pembedaan-pembedaan dan kategori-kategori, yang dipandang mengikat tanpa syarat, bagi segala waktu, orang dan tempat. Ia juga menolak “mimpi tradisional” mengenai adanya sistem penjelasan  yang  lengkap, unik dan tertutup (cf. Cambridge Dictionary of Philosophy, s.v.”Postmodernism”).
[4]) Dan rumusan-rumusan ini yang tercermin dalam Katechismus Heidelberg, yang melalui pewarisan Piwulang Agami Kristen telah berurat akar dalam pemikiran banyak warga GKJ.