Adapun “benang merah” pemikiran soteriologisnya tergambar melalui pokok-pokok pikiran: bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia dalam keadaan baik. Namun manusia jatuh ke dalam dosa sehingga manusia berada dalam kondisi tidak selamat. Karena kasih dan anugerahNya, Allah berkenan menyelamatkan manusia melalui karya penyelamatanNya. Karya penyelamatan Allah itu teranyam di dalam sejarah kehidupan manusia, dan dilakukan dengan cara membangun kembali hubungan yang harmonis melalui pengampunan dosa. Sejarah penyelamatan Allah tersebut berpusat pada tiga peristiwa yang utuh dan berkesinambungan, yaitu peristiwa bangsa Israel, peristiwa manusiawi Yesus dan peristiwa Roh Kudus.

Pada akhirnya sejarah penyelamatan Allah melalui pengampunan dosa yang terjadi karena karya penebusan Kristus itu, diluaskan kepada segala bangsa sampai akhir zaman. Gereja sebagai umat milikNya ditugasi untuk bersaksi tentang penyelamatan Allah.

Pilihan untuk memilih pendekatan soteriologis ini tentu membawa konsekuensi tersendiri, karena hasilnya tentu berbeda dengan apabila dipilih pendekatan lain. Misalnya: perubahan dalam penjelasan mengenai ketritunggalan Allah, mengenai tugas-tugas gereja dan sebagainya. Nampaknya pendekatan ini dipilih oleh karena tahap berfikir secara fungsional pada waktu ini, lebih dapat diterima oleh manusia yang hidup di zaman modern. Apabila benar demikian – seperti dapat disimpulkan dari persetujuan sidang Sinode Terbatas 1996 – maka para utusan gereja ke sidang tersebut telah memilih cara berfikir secara modern.[1])

Bahwa timbul ketidaksetujuan dari sebagian warga gereja, haruslah diterima sebagai kenyataan di lapangan, oleh karena tidak seluruh warga GKJ siap untuk berolah-fikir secara modern secara serentak dan serta merta. Menjadi penting bagi GKJ untuk memberi peluang bagi usaha untuk saling mengerti. Harus diakui bahwa ada tahap-tahap berfikir dalam sejarah kebudayaan, dan perbedaan-perbedaan tahap berfikir ini mempengaruhi cara orang memahami masalah-masalah. Oleh sebab itu dikembangkan usaha untuk memahami dan saling memahami, sehingga PPA GKJ 1996 dapat menjadi alat bantu dalam memacu GKJ menjadi saksi yang lebih berdaya guna pada awal Abad ke-21 ini.

7.   Perkembangan tahap-tahap berfikir dalam sejarah kebudayaan

Prof. Dr. C.A. van Peursen[2]), dalam bukunya: Strategi Kebudayaan[3])  mengetengahkan upaya untuk memahami perkembangan cara berfikir manusia melalui suatu bagan tiga tahap. Adapun tahap-tahap yang dimaksudkan adalah tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional.

Tahap mitis tercermin dalam mitologi-mitologi dari bangsa-bangsa yang sering dinamakan bangsa primitif, yang pada dasarnya mengungkapkan sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Alam fikiran mitis bergetar apabila berhadapan dengan daya purba dan mengakui bahwa ada sesuatu. Manusia merasa dirinya merupakan bagian dari keseluruhan yang mengitarinya, pola pikir yang dikembangkannya bersifat partisipatif. Mantera dan magi merupakan hal dominan pada tahap ini.[4])

Tahap ontologis mengungkapkan sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia lalu menyusun teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu itu (ontologi), dan rincian-rincian dari segala sesuatu itu (=ilmu-ilmu).  Tahap ini berkembang dalam Kebudayaan Kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Di Barat misalnya pada zaman Yunani Kuno tatkala filsuf-filsuf yang terkenal berkarya, yaitu Anaxagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles; sementara di Timur beberapa mazhab Vedanta dari India mencerminkan tahap ini.[5])

Pada tahap ini manusia berusaha membuat peta mengenai segala sesuatu, menggali sebab musabab terjadinya segala sesuatu, menyajikan pengetahuan sistematis yang dapat dikontrol. Manusia sebagai subyek mengambil jarak (distansi) dari segala sesuatu yang menjadi obyek penelitiannya. Manusia berusaha mengetahui mengenai hakikat segala sesuatu, mengetahui apa-nya. Dalam diskusi teologi mengenai ontologi tradisional, orang berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan. Tuhan dikaji tentang hakekat dan keberadaanNya lepas dari subyek manusia, lepas dari kebertautan langsung dengan eksistensi yang ia hayati.[6])

Tahap fungsional, nampak dalam manusia modern. Ia tidak terpesona oleh lingkungannya (=mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (=ontologis), tetapi ia ingin mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya. Ia mengutamakan pertanyaan :


[1])    Baca uraian di pokok yang berikut.
[2])  Guru besar filsafat di Universitas-universitas Negeri di Groningen dan Leiden serta Vrije Universiteit di Amsterdam, Negeri Belanda.
[3])   C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, , Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976, h. 18.
[4])   Ibid., 18, 21.
[5])   Ibid., 18, 56 br.
[6])   Ibid., 18, 21, 63, 65, 89.