4.  Prinsip-prinsip Kehidupan Bernegara yang dapat diterima oleh Orang Percaya

Ada enam prinsip kehidupan bernegara yang diterima oleh orang percaya, yaitu:
1).   Prinsip pengawasan. Setiap pemegang kekuasaan negara adalah manusia biasa yang berada dalam kondisi dosa, sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaannya.  Oleh karena itu, setiap pemegang kekuasaan negara membutuhkan pengawasan. [Pkh.3:7-13]
2).   Prinsip negara hukum. Karena ada bahaya pemegang kekuasaan negara berlaku sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dipegangnya, maka setiap penggunaan kekuasaan negara di dalam penyelenggaraan negara harus dituangkan di dalam hukum. [Band. Ams.21:29]
3).   Prinsip negara demi manusia. Alasan adanya negara adalah untuk manusia itu sendiri, tujuan negara dan pelaksanaan kekuasaan negara adalah manusia itu sendiri. [Rm.13:4a]
4).   Prinsip negara kesejahteraan. Adanya negara demi manusia diwujudnyatakan dalam tujuan negara.  Tujuan negara untuk menciptakan kehidupan yang dapat dinikmati oleh semua yang terlibat di dalamnya sebagai kehidupan yang sejahtera sesuai dengan martabat manusia. Prinsip negara demi manusia juga disebut prinsip negara kesejahteraan. [Rm.13:4,5; Tit.3:1,8 (perhatikan ayat 8, ophelimo = berguna); 1Ptr.2:14]
5).   Prinsip martabat manusia. Allah memperlakukan manusia sesuai dengan martabatnya, membimbing orang percaya kepada suatu asas bahwa di dalam kehidupan bernegara hormat terhadap martabat manusia harus menjadi norma etis yang tertinggi. Dengan demikian setiap kebijakan penyelenggaraan negara dipandang benar bila menghargai martabat manusia. [Kej.9:6; Mrk.12:31; Kol.3:10; 1Ptr.2:17]
6).   Prinsip hak-hak asasi manusia. Untuk melindungi rakyat dari perlakuan tidak adil, maka negara membuat Undang-undang Hak-hak Asasi Manusia. Dengan Undang-undang tersebut, baik pemegang kekuasaan negara maupun rakyat mempunyai pegangan yang jelas untuk menghormati, membela atau mempertahankan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara.
                       

VII. SIKAP TERHADAP KEKUASAAN NEGARA

1.  Pemahaman Orang Percaya Mengenai Kekuasaan Negara

Bagi orang percaya, penguasa adalah manusia yang di dalam tata-reksa Allah[1]) diberi kesempatan oleh Allah untuk memegang kekuasaan negara [Rm.13:1,2]. Kesempatan itu diberikan oleh Allah terjalin dalam budaya politik masing-masing negara. Hal ini disebut asas kuasa dari Allah. Dalam pemberian kesempatan itu Allah menganyamkan tata-reksa-Nya yang umum (universal) dengan kebebasan manusia untuk mewujudkan kehidupannya sendiri.
                       
Asas kuasa dari Allah tidak bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat. Sebab di dalam asas kedaulatan rakyat dipahami kekuasaan negara secara langsung berasal dari rakyat. Secara tidak langsung penguasa mendapat kesempatan dari Allah untuk memegang kekuasaan.

Didasari oleh Roma 13:1-2 orang percaya memahami kekuasaan negara sebagai berikut:
1).  Pemerintah adalah orang-orang diberi kesempatan oleh Allah memegang kekuasaan negara untuk dilaksanakan di dalam penyelenggaraan negara. dan kesempatan itu diberikan oleh Allah dalam rangka tata-reksaNya.
2).  Orang percaya harus menghormati dan mendukung permerintah serta tidak dibenarkan bertindak asal melawan; sebab dengan begitu ia melawan tata-reksa Allah dan itu pasti ada hukumannya.
[Rm.12:1-2 sebagai dasar kehidupan etis yang petunjuknya meliputi Rm.12-15; Rm.13:4-5. Orang-orang percaya di Roma (penerima surat Roma) hidup di negara Romawi. Paulus menyebut penguasa Romawi (yang diangkat menurut sistem politik Romawi), yaitu: “hamba Allah bagi kamu menuju ke kebaikan” (Theou diakonos soi eis to agathon)]


1.      Sikap Orang Percaya Terhadap Kekuasaan Negara

Pada prinsipnya orang percaya menghormati dan tunduk kepada pemerintah berdasarkan tempatnya dalam tata-reksa Allah. Namun terbuka kemungkinan bagi orang percaya untuk melawan pemerintah kalau ternyata pemerintah tidak memenuhi fungsinya di dalam tata-reksa Allah.
                                    
Orang percaya menilai pemerintah yang baik, yang memenuhi fungsinya dalam tata-reksa Allah, yaitu apabila pemerintah tersebut mampu mendatangkan kesejahteraan rakyat, menghormati hak asasi manusia dan memperlakukan rakyat secara adil.
                                    
Orang percaya menerima ideologi negara sebagai sesuatu yang wajar dan berguna. Sebab manusia diberi kebebasan oleh Tuhan untuk mewujudkan kehidupannya sesuai dengan yang dicita-citakannya. Setiap bangsa berhak menentukan dan memiliki ideal-ideal dasarnya sendiri mengenai kehidupan bernegara. Ideal-ideal dasar itu lazim disebut ideologi.

Orang percaya juga bersikap terbuka mengenai bentuk negara, sistem pemerintahan dan ideologi. Tetapi orang percaya mempunyai tolok ukur, yaitu apakah bentuk negara, sistem pemerintahan dan ideologi itu memberi tempat untuk asas-asas yang dapat diterima oleh orang percaya. Ini lazim disebut asas keterbukaan bersyarat.


[1]) Berasal dari bahasa Latin “Providentia Dei” yang berarti pemeliharaan Allah.