3. Peran Orang Percaya dan Gereja dalam Kehidupan Bernegara
Dalam mengambil bagian di tengah-tengah kehidupan bernegara, orang percaya berpegang pada tiga dasar pemahaman, yaitu:
1). Sebagai imam, orang percaya melayani kehidupan bernegara di dalam kebersamaan (solidaritas) nasional, yaitu tercapainya tujuan negara adalah kepentingan, kewajiban dan tanggung jawab bersama.
2). Sebagai raja, orang percaya berpartisipasi (ambil bagian) di dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan negara.
3). Sebagai nabi, orang percaya menegur, memperingatkan atau malah menentang segala ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penghinaan terhadap martabat manusia.
Itulah yang lazim disebut dasar pemahaman imamat-rajawi-nabiah. Dengan dasar pemahaman ini orang percaya mempertanggung-jawabkan partisipasinya di dalam kehidupan bernegara.
Gereja tidak boleh berolah politik praktis. Sebab gereja mempunyai ciri khasnya sendiri, yaitu sebagai suatu kehidupan bersama agamawi. Gereja mempedulikan kehidupan politik tanpa mempunyai ambisi untuk memperoleh kekuasaan.
Ada empat hal yang harus dilakukan gereja dalam kehidupan bernegara, yaitu:
1). Mengikuti dan memahami perkembangan kehidupan politik.
2). Menggembalakan warganya yang berolah politik praktis.
3). Menggembalakan warganya untuk menjadi warga negara yang baik, yang mencerminkan sikap hidup dan tingkah laku orang percaya.
4). Bila perlu, membuat dan mengeluarkan pernyataan politik berdasarkan asas imamat-rajawi-nabiah.
4. Hubungan Negara dan Agama
Berdasarkan asas anti-totaliterisme dan asas keanekaan kehidupan, maka hubungan yang tepat antara negara dan agama adalah hubungan yang didasarkan pada prinsip pemisahan yang tegas antara negara dan agama [Band. Mat.22:21; (baca ayat 15-21) dan paralelnya]. Itulah yang lazim disebut asas negara sekuler.
Isi asas negara sekuler adalah:
1). Negara tidak memasukkan agama ke dalam wilayah kekuasaannya, dan sebaliknya agama tidak menguasai negara menjadi bawahannya.
2). Negara menghormati agama dengan ciri khasnya sendiri, sehingga tidak ada campur tangan negara terhadap agama sebagai agama, dan sebaliknya agama menghormati negara dengan ciri khasnya sendiri, sehingga tidak ada campur tangan agama terhadap penyelenggaraan negara.
3). Hukum negara tidak diangkat dari atau dibuat berdasarkan hukum agama.
4). Tidak ada agama yang diangkat menjadi agama negara, agama satu-satunya yang harus dianut oleh seluruh rakyat.
5). Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama, berdasarkan pandangan bahwa kehidupan beragama adalah suatu jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan religius, sedangkan kebahagiaan religius merupakan suatu segi kesejahteraan yang menjadi tujuan negara.
VIII. PANDANGAN DAN SIKAP TERHADAP AGAMA-AGAMA
1. Pemahaman Orang Percaya Mengenai Agama
Titik tolak orang percaya dalam memahami dan menentukan sikap terhadap agama-agama adalah agama merupakan suatu kenyataan yang bersifat umum. Sebab adanya agama bukan suatu kebetulan, melainkan suatu segi kehidupan manusia yang mempunyai dasarnya di dalam keberadaan manusia itu sendiri, yaitu kesadaran bahwa dirinya terhubung dengan Allah [Kej.4:3-7; Kis.17:22-23; Rm.2:14-16]. Inilah yg disebut kesadaran religius manusia.
Kesadaran religius tersebut berasal dari Allah sejak penciptaan.[1]) Penjelasannya: manusia diciptakan menurut gambar Allah, oleh karena itu keberadaan manusia terhubung dengan keberadaan Allah, sehingga manusia mempunyai kedudukan sebagai mitra keberadaan Allah. Sebagai mitra keberadaan Allah, manusia memiliki kesadaran religius yang diwujudkan dalam bentuk agama sebagai saluran dan wadah dalam menghayati hubungannya dengan Allah.
Peran Allah dalam timbulnya agama nampak dari kenyataan bahwa Allah memelihara kesadaran religius manusia, sehingga kesadaran religius itu tidak musnah karena dosa manusia. Dengan kesadaran religius itu, manusia mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah dalam bentuk agama. Jadi dalam terbentuknya agama ada peran Allah dan peran manusia.[2])